Senin, 18 November 2013

Yang Paling Penting

Di rumah. Hujan. Di teras. Duduk. Air jatuh satu-satu dari bibir genting. Menciprati lantai. Menggenangi rumput. Susul menyusul. Menjadi bunyi yang paling sepi. 
Kamu suka musik klasik atau musik jazz?" tanyamu, seakan-akan itu adalah pertanyaan penting. Padahal, itu tidak penting. Karena aku punya pertanyaan lain yang lebih penting untukmu. "Kamu suka hujan waktu pagi hari atau sore hari?" Ini pertanyaan penting untukku. Tetapi aku tahu bahwa itu pertanyaan yang tidak penting menurutmu.
Karena kira-kira aku sudah tahu apa jawabanmu. "Hujan bikin becek, banjir, dan macet."
Tetapi apakah kau tahu kalau serakan hujan tampak berkilau di ujung lancipnya rerumputan? Aku ragu, kau tahu itu. Aku juga tidak merasa yakin kalau kau pernah mencium wangi cemara yang mengambang di udara sehabis dibasahi hujan. Jadi akulah yang menambang semerbak itu. Harum sunyi paling abadi. Ada di hati manusia yang sendiri.
Tidak ada kamu. Tidak tahu kamu sedang apa.
Mungkin benar bahwa kamu sedang berlatih memainkan musik klasik atau musik jazz. Tetapi aku tidak tahu bagaimana pastinya. Kemudian kamu berkata padaku "kamu memang tidak tahu kalau satu oktaf sebetulnya ada dua belas nada. Terdiri dari tujuh bilah putih. Dan lima bilah hitam. Ini penting! Bukan cuma delapan nada yang seperti kamu katakan. Tidak cuma do re mi fa sol la si do. Kamu tidak tahu."
Ya, aku memang tidak tahu. Seperti aku tidak tahu kenapa pikiranku gentayangan mencarimu. Padahal, aku tahu ada suara langit yang resah. Ada pesawat terbang menerjang hujan. Juga ada burung kecil yang nekat menerabas hujan. Aku tahu pesawat terbang dan burung kecil itu sedang saling bersaing. Pesawat terbang harus mendarat di landasannya. Burung kecil harus mencapai gerombolan cemara. Aku tahu keduanya sedang balapan menghindar dari basah. Tetapi aku tidak tahu yang mana dari mereka yang akan berhasil lebih dahulu. Seperti aku tidak tahu kamu sedang di mana.
Mungkin kamu sedang terjebak macet karena banjir. Maka kamu pasti sedang mengutuk hujan yang tidak berhenti sejak siang tadi. Karena hujan pasti membuat semua rencanamu tertunda. Sudah pasti semua rencana yang penting, menurutmu. Termasuk acaramu, latihan piano. Itu salah satu hal yang penting buatmu. Tetapi itu bukan acara penting untukku. Bagiku yang kulakukan sekarang juga penting. Duduk-duduk menonton hujan. Bukankah seharusnya kulakukan bersamamu? Tetapi kamu menganggapnya tidak penting.
"Ayo, cepat, habiskan baksomu. Sebentar lagi hujan. Nanti kamu kehujanan," katamu. Lagi-lagi aku tidak tahu, yang mana yang penting untukmu. Bakso, hujan, atau aku? Karena yang penting bagiku adalah waktu bersamamu. Tidak ada bakso, tidak mengapa. Kehujanan pun tak apa. Tetapi ada kamu. Ada kamu yang mendengarkan ceritaku tentang bakso. Tentang hujan. Tentang kamu.
Jadi ketika kau melempar aku begitu saja di halaman sebuah toko buku, aku tidak tahu kau kemudian menjadi apa. Apakah kamu menjadi pesawat terbang? Ataukah menjadi burung kecil? Apakah kamu sedang menuju landasan? Ataukah kamu justru sedang tergesa mencari cemara? Yang kelihatannya penting, walaupun aku tidak tahu apakah itu benar-benar penting adalah kau sedang terburu-buru. Mungkin sedang memburu. Atau sedang diburu.
Ah, itu sudah tidak penting lagi bagiku. Karena sudah hujan. Sudah angin. Sudah dingin. Sudah basah.
Masih di rumah. Masih hujan. Masih di teras. Masih duduk. Dan masih saja air jatuh satu-satu dari bibir genting. Juga masih menciprati lantai. Sudah pasti masih menggenangi rumput. Tentu masih susul-menyusul. Benar-benar masih menjadi bunyi yang paling sepi.
"Nanti aku ke rumahmu. Agak malam. Karena sekarang masih hujan. Masih banjir. Masih macet," katamu.
Kali ini kulakukan sesuatu yang penting menurutku. Kubuka pagar lebar-lebar. Agar nanti mobilmu bisa langsung masuk ke car port. Sehingga ketika kau turun dari mobil, kau tidak kehujanan. Tidak kena angin. Tidak dingin. Tidak basah.
Tetapi yang kulakukan ternyata tidak penting untukmu. Kau tetap memarkir mobilmu di jalanan. Di sisi luar pagar. Kamu turun, berlari kecil menembus rintik. Kamu kehujanan. Kamu kena angin. Kamu kedinginan. Kamu basah.
Sekian banyak kita bersisipan di antara yang penting dan tidak penting. Apakah sejenak ada suara hujan menyelinap di antara nada-nada musik klasik dan jazz yang kau mainkan? Sehingga aku tidak tahu, mana yang sungguhan penting dan mana yang tidak penting. Aku juga sudah tidak bisa membedakan irama hujan atau denting piano.
Akhirnya, sampai juga kita kepada satu kata sepakat. Secangkir coklat panas. Kau menyeruputnya. Dan aku bahagia melihat wajahmu mulai memerah. Tidak pias. Tidak pucat. Sudah hangat.
"Kamu suka musik klasik atau musik jazz?" kamu masih saja mengulang pertanyaan yang kamu anggap penting itu.
"Kamu suka hujan waktu pagi hari atau sore hari?" akhirnya kutanyakan juga pertanyaan yang kuanggap penting ini.
"Aku mau bikin lagu untukmu. Lagu tentang hujan," katamu tetapi bukan menjawab pertanyaanku.
"Lagu hujan adalah lagu yang paling aku suka," kurasa kata-kataku juga tidak menjawab pertanyaanmu.
Kemudian seperti biasa kamu berlalu. Tetap terburu-buru. Aku tidak tahu apakah kamu sedang 
memburu atau sedang diburu hujan. Itu sudah tidak penting lagi.
Tahukah kamu kalau aku ingin menyampaikan ada yang lebih penting?
Bila kamu memeluk hujan, itu aku. Bila kamu menyentuh dingin, itu aku. Bila kamu mencium angin, itu aku. Maka kamu adalah tanah yang begitu tabah menadah basah.


Kurasa ini paling penting!
(Cerpen pernah dimuat di Pikiran Rakyat, 17 Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar