Jumat, 01 November 2013

Yang Layak Jadi Guru Ngaji



Allah berfirman yang artinya, “Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS Yasin:21).
Ibnu Sa’di mengatakan, “Ikutilah orang yang memberikan nasehat kepadamu, yang menginginkan kebaikan untukmu, bukan seorang yang menginginkan harta dan upah darimu karena nasehat dan bimbingan yang dia berikan kepadamu. Ini merupakan faktor pendorong untuk mengikuti orang yang memiliki sifat demikian. Namun boleh jadi ada yang bilang, ‘memang boleh jadi dia berdakwah dan tidak meminta upah dengan dakwahnya namun ternyata dia tidak berada di atas kebenaran’. Kemungkinan ini Allah bantah dengan firmanNya, ‘Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk’. Hal ini karena mereka hanyalah mendakwahkan hal-hal yang dinilai baik oleh akal sehat dan mereka hanya melarang untuk mengerjakan hal-hal yang dinilai buruk oleh akal sehat” (Taisir al Karim al Rahman hal 817, cetakan Dar Ibnu al Jauzi).
Pepatah arab mengatakan, faaqidus syai’ laa yu’thihi, orang yang tidak punya tidak akan bisa memberi. Sebagaimana orang yang tidak punya uang tidak akan pernah bisa memberi uang kepada orang lain maka demikian pula orang yang tidak berada di atas hidayah tentu tidak bisa bagi-bagi hidayah.
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan ciri dai yang bisa bagi-bagi hidayah karena dia memang berada dalam hidayah yaitu tidak meminta upah dengan dakwah dan nasehatnya.
Tidak hanya sebatas meminta upah berupa harta, namun juga tidak meminta upah dalam bentuk penghormatan, cium tangan, disowani, diminta mencoblos partai tertentu, dimintai membuat kartu anggota organisasi tertentu ataupun tergabung dalam kelompok pengajian tertentu.
Inilah ciri orang yang layak kita jadikan sebagai guru ngaji kita.
Syeikh Abdur Rahman bin Muhammad bin Qosim mengatakan, “Dalam dakwah ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu ikhlas karena mengharap melihat wajah Alloh dan sesuai dengan sunnah Rasulullah. Jika seorang dai tidak memenuhi kriteria pertama maka dia adalah musyrik. Tetapi jika syarat kedua yang tidak terpenuhi maka dia adalah mubtadi’. Demikian pula, seorang dai harus mengetahui materi yang hendak didakwahkan baik berupa perintah maupun larangan sebagaimana seharusnya lembut ketika memerintah dan melarang suatu hal” (Hasyiah Kitab at Tauhid hal 55).
وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan sesungguhnya para nabi itu tidak memwariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu agama” (HR Abu Daud no 3741, dinilai shahih oleh al Albani).
Adalah menjadi ketentuan untuk semua nabi, jika mereka meninggal dunia maka harta warisan mereka tidak jatuh kepada keluarganya namun menjadi hak sosial. Ketentuan ini memberi penegasan bahwa dakwah yang diusung oleh para nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik adalah dakwah yang ikhlas. Mereka berdakwah bukan untuk tujuan memperkaya diri sendiri atau anggota keluarga dan keturunan.
Andai harta warisan para nabi itu dibagikan kepada keluarganya maka boleh jadi ada orang akan berpikir bahwa nabi demikian rajin berdakwah adalah supaya anggota keluarganya berkecukupan hingga tujuh keturunan.
Dengan adanya ketentuan di atas maka orang akan semakin yakin bahwa dakwah para nabi hanyalah karena Alloh. Mereka ingin agar masyarakat berubah semakin baik, semula syirik menjadi tauhid, bid’ah menjadi sunnah dan maksiat menjadi ketaatan.
Jangan terburu-buru menjadikan seseorang sebagai guru ngaji kita sebelum sifat di atas ada pada mereka. Tidak semua muslim layak dijadikan guru dan tidak semua orang yang kita kenal adalah tempat kita bertanya tentang masalah agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar