Jarji Zaidan, dalam Tarikh
Al-Adab Al-Lugah Al-Arabiyah, menerangkan bahwa sastra Arab dapat dikatakan
sebagai sastra yang relatif kaya diantara bahasa-bahasa samawi lainnya. Sastra Arab
menjadi unik karena bersinggungan langsung dengan beberapa peradaban semisal
Persia, Turki, Irak, Mesir, Romawi, dan sebagainya. Tidak habis pikir, kenapa
sastra yang begitu unik itu justru lahir dari Arab; orang Arab era Jahiliyah,
menurut Abdullah Hadziq, adalah masyarakat yang terkenal sabar dalam masalah
kelaparan, kehausan, dan kedinginan, namun gampang sekali dendam meski dalam
perkara kecil, hingga nyawa dan darah pun dirasa setimpal untuk dialirkan.
Kegilaan Orang Arab dengan
sastra sampai-sampai memasang tujuh macam syair terpilih dan menulisnya dengan
tinta emas, karenanya disebut Al-Madzhabat, dan ditempelkan di Ka’bah,
diantaranya Imro Al-Qais, Zuhair, Thurfah, dan lainnya yang disebut dengan Ashab
Al-Mu’allaqat, seperti yang dijelaskan Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah.
Selama ratusan tahun itu orang Arab
mempunyai masalah dengan keimanan, sampai turunnya Al-Quran dengan kekuatan
sastra yang tak mampu mereka kalahkan.
Dalam terminologi tafsir, ada
hal yang dinamakan Tafsir Bayani, yaitu penjelasan tentang maksud
Al-Quran dengan pendekatan sastra. Hal ini dapat dibenarkan karena Rasulullah
sendiri sering menafsiri Al-Quran dengan metode bayani, seperti ketika
Ubay ibn Hatim bertanya soal “apakah yang dimaksud dengan benang”
Rasulullah menjawab bahwa hal itu hanya ilustrasi metaforis: “benang hitam
adalah gelapnya malam dan benang putih adalah terangnya siang” dalam menafsiri
Surat Al-Baqarah: 187.
Tafsir Al-Kasyaf adalah
karya mufasir agung Al-Zamakhsary yang ditulisnya selama 30 bulan ketika ia
tinggal di Mekah. Dalam mukadimah tafsirnya, Al-Zamakhsary menerangkan alasan
menulis Al-Kasyaf adalah karena permintaan Al-Fi’ah Al-Najiyah
Al-Adliyah atau yang menurut pendapat kelompok Sunni disebut Mu’tazilah. Tafsir
ini disusun sesuai tertib mushafi; berdasar urutan surat dan ayat dalam Mushaf
Ustmani. Hal yang menjadi menarik adalah karena Al-Zamakhsary seorang tokoh
Mu’tazilah dan sudah barang tentu penalarannya tidak akan lepas dari penalaran
Mu’tazilah. Sehingga tidak terlalu aneh jika keseringan Al-Zamakhsary melakukan
tafsir adalah sesuai porsi penalarannya yang paling rasional, dan penyesuaian nash-nash
dengan faham Mu’tazilah.
Muktazilah, begitupun
Al-Zamakhsary, adalah golongan yang kebingungan mencari-cari cara mengetahui
Allah. Karenanya ayat-ayat Quran yang mengangkat persoalan Allah adalah
menyerupai makhluk haruslah ditakwilkan, dan dalam kasus nash-nash tertentu
mereka golongkan sebagai muhkam atau mutasyabihat secara ‘sembarangan’.
Akal adalah muara pengetahuan. Memuja
akal akan melahirkan rasionalisme, oleh karenanya ia selalu bertaruh pada
hal-hal yang sangat logis. Sedangkan indera adalah alat pengetahuan. Memuja indera
akan melahirkan ‘apa-apa harus empiris’, sangat materalisme, oleh karenanya ia
selalu berurusan dengan hal-hal yang berbau sains. Baik akal dan indera adalah
dua hal yang sulit menerima hal supra logis dan non empiris, meskipun keduanya
memiliki jasa melahirkan sains dan teknologi, namun toh tidak mampu
berbuat apa-apa pada obyek yang irasional dan metaindrawi. Sampai pada titik
ini, muncullah apa yang dinamakan iman.
Ketika berusaha menafsiri
kalimat “surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya (Al-Baqarah: 25)”
Al-Zamakhsary mulai terbentur tembok karena “surga” sudah terlanjur
disebut Allah dan kemampuan Al-Zamakhsary yang sangat rasional ini tak mampu
menembusnya. Hingga Al-Zamakhsary menggunakan Syair Arab era Jahiliyah dalam
menjelaskan kata “surga” dengan mengutip sepenggal Syair Zuhair ibn
Sulmy: “Surga itu kebun yang berisi pohon-pohon kurma dan lainnya yang lebat
membayangi karena ranting-ranting pohon itu terlalu rimbun.”
Kebebasan mufasir dalam
menentukan jalan penafsirannya adalah sebuah keniscayaan, oleh karena itu akan selalu
ada perbedaan-perbedaan penafsiran dari semua mufasir meski dalam satu ayat
saja. Ini karena mereka adalah manusia biasa yang selalu bergelutan dalam dunia
dan realita dengan sikap kritisnya sendiri berbekal jalan pemikirannya. Penulis
selalu teringat pada Mustofa Bisri (Gus Mus) yang pernah berkata: “Saya itu,
asal Gusti Allah tidak melarang, akan terus jalan. Karena selain Allah, saya
ini penguasa atas diri saya sendiri.”
Heraklitus, filosof Yunani,
pernah berkata: sifat yang terutama dalam realita adalah perubahan, tidak ada
sesuatu yang tetap di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.
Ada sebuah kelompok yang secara
bebas mengungkapkan penafsirannya pada agama, dan ini merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri, sekaligus harus dihormati. Sayangnya
kelompok ini dari masa ke masa tidak pernah berubah; tiap hari mengkafirkan
kelompok yang berbeda penafsiran dengannya, dan tega membunuh orang yang
berbeda iman. Padahal, iman sendiri adalah perkara yang sulit.
Wallahu A'lam
Wallahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar