“BANG! Bangun, Bang! Ada berita dari rimah sakit!”
Chaerul seketika terjaga dari tidurnya yang tak nyenyak, dan spontan
melihat ke arah jam dinding yang jarum pendeknya menunjuk angka tiga.
“Berita apa?”
“Om Sur….” Istrinya tak kuasa melanjutkan ucapannya.
“Innalilaahi….”
“Ssst! Bukan meninggal…!”
“Lho..???”
“Kata perawat, jam dua seperempat dini hari tadi Om Sur membuka mata.
Siuman. Mulutnya bergerak seperti mau bicara, tapi tidak keluar suara.”
Chaerul terdiam. Seketika ia jengah. Perasaannya terlalu kacau untuk
mengambil sikap dalam menanggapi kejadian ini: bersyukur ataukah
berduka. Ialah kekacauan yang sebetulnya sudah dirasakannya sejak tiga
bulan lalu, saat ia menerima kabar dari Jakarta perihal dirawatnya Om
Sur di rumah sakit setelah terjatuh di kamar mandi akibat stroke
yang menderanya. Waktu itu ia buru-buru ke bandara untuk mengejar
penerbangan terakhir ke Jakarta. Dari bandara Soekarno-Hatta ia langsung
ke rumah sakit Pondok Indah, bergabung dengan keluarga besar Om Sur
yang sudah berkumpul di ruang tunggu ICU. Semua wajah menyiratkan duka.
Tak sedikit yang matanya basah.
Pada saat Arifin keluar dari ruang ICU dengan wajah beku, serentaklah
mereka berdiri dan tertib mengantre untuk menyalami putra Om Sur ini,
mengungkapkan simpati dan keprihatinan. Siratan wajah duka berubah jadi
duka mendalam. Air mata yang menetes berubah jadi bercucuran. Isak-isak
tertahan berubah jadi raungan tangis. Dan Arifin menanggapinya dengan
wajah dingin, nyaris tanpa perubahan ekspresi.
Chaerul sendiri mendapat giliran terakhir menyalami Arifin, dan
Chaerul melihat wajah adik sepupunya ini sedikit berubah. Arifin lalu
mengajak Chaerul menjauhi keramaian untuk bicara empat mata.
“Apa kata dokter, Rif?” tanya Chaerul.
“Aku khawatir Papa terlalu banyak memendam perasaan,” jawab Arifin lirih.
“Memang ada persoalan apa?”
“Tak banyak yang tahu kalau Papa sebetulnya sudah tidak punya apa-apa. Usaha batu baranya miss-management,
sudah beralih kepemilikan ke orang lain. Pabrik metanolnya sudah hampir
enam bulan berhenti beroperasi karena bahan bakunya sudah habis.
Sahamnya di garmen juga bisa dibilang sudah enggak ada nilainya karena
pabriknya collapse setelah hampir setahun vakum gara-gara demo buruh yang enggak habis-habis.”
Arifin sejenak berhenti bicara, lurus-lurus menatap Chaerul dan
berbisik dengan suara sangat dalam. “Sebulan terakhir ini Papa beberapa
kali bicara soal piutang-piutangnya.”
Chaerul serasa mendengar petir menggelegar di telinganya, yang
sekonyong-konyong memanaskan ruangan yang begitu dingin. Ia langsung
merasa dirinya bagaikan seorang terdakwa.
Chaerul memang banyak berutang pada Om Sur sejak usaha-usaha pamannya
ini meningkat pesat lima tahun terakhir ini. Pada saat yang sama
Chaerul justru sedang merangkak memulai usaha baru. Tak berani
berhubungan dengan bank untuk mendapatkan modal usaha, Chaerul menemui
Om Sur untuk minta bantuan. Chaerul ingat betul waktu itu Om Sur
langsung mengeluarkan buku cek dari laci mejanya dan bertanya Chaerul
perlu berapa. Chaerul tergagap-gagap menyebut angka ratusan juta, dan Om
Sur langsung menuliskan angka itu di kolom isian pada lembaran cek di
hadapannya.
Dengan modal dari Om Sur itu Chaerul menyewa sebuah ruko di salah
satu kawasan niaga di Jakarta Selatan untuk membuka kantor baru. Namun
usahanya di bidang jasa konsultasi keuangan dan perbankan ini hanya
bertahan kurang dari enam bulan karena modalnya habis untuk biaya overhead kantor dan gaji sepuluh staf berikut karyawan yang semuanya sarjana, kecuali office boy.
“Usaha kamu kurang komersiil,” kata istrinya.
“Tapi bidang ini sesuai dengan pendidikanku,” kata Chaerul.
“Lupakan pendidikanmu. Cari usaha yang lebih konkret.”
Chaerul pun menghadap Om Sur lagi.
Ia mengaku usahanya telah gagal, dan ingin membuka usaha baru yang
lebih menjanjikan, “…agar bisa segera mengembalikan pinjaman saya yang
terdahulu.” Waktu itu Om Sur spontan mengatakan, “Jangan pikirkan dulu
urusan pinjaman. Kamu fokus saja ke usaha kamu. Kalau sudah running well, baru kamu pikirkan urusan utang-piutang di antara kita.”
Chaerul sangat bersyukur dan mengucap beribu terima kasih.
“Mau bikin apa kamu sekarang?”
“Kafe, Om. Saya sudah melakukan survei kecil-kecilan dan hasilnya positif. Bisnis kafe yang saya pilih ini sangat prospektif.”
“Sudah ada modal?”
“Ehm… itu dia, Om… Mohon maaf….”
Chaerul membuka kafe bersama beberapa mantan teman satu almamater.
Bertempat di lingkungan perkantoran, kafe ini langsung kebanjiran
pengunjung. Sebagian terbesar tamu ialah mantan teman-teman kuliah
Chaerul yang berkantor di sekitar lokasi kafe, maupun yang sama-sekali
tak berkantor, dan memanfaatkan kafe ini untuk pertemuan-pertemuan
bisnis mereka. Kebanyakan dari mereka datang seusai jam makan siang—yang
artinya jarang ada yang memesan hidangan makan siang—dan pulang
menjelang maghrib—yang artinya jarang ada yang memesan hidangan dinner.
Sebagian terbesar cukup memesan secangkir teh atau kopi untuk bertahan
duduk selama tiga-empat jam. Lagi-lagi, usahanya ambruk sebelum sempat
berkembang.
“Masih ada sisa modal dari Om Sur,” kata Chaerul menenangkan diri.
“Jangan pakai buat bikin usaha lagi,” kata istrinya. “Mending kamu
nyari kerja yang bener. Minta tolong sama teman-temanmu yang suka pada
nongkrong di kafe itu.”
Istri Chaerul benar. Salah-satu teman Chaerul bekerja di sebuah
imperium bisnis yang bergerak di bidang properti. Chaerul diajak
bergabung dan kebagian tanggung-jawab urusan pembebasan tanah. Jabatan
ini membuat kehidupan Chaerul berubah. Lewat kelihaiannya melakukan
pendekatan dan negosiasi, dengan anggaran miliaran dari perusahaan ia
sanggup membebaskan luasan lahan dengan ganti rugi hanya ratusan juta.
Tapi kondisi ini pun tak berlangsung lama. Audit besar-besaran yang
dilakukan perusahaan sehubungan dengan penurunan laba tahunan yang
begitu drastis menguak praktik manipulasi yang dilakukan Chaerul.
Chaerul dipecat secara tidak terhormat dan diperintahkan untuk membayar
semua kerugian perusahaan yang diakibatkan oleh kesalahannya.
Setelah itu Chaerul tak tahu mau berbuat apa lagi.
“Masih ada sisa pinjaman dari Om Sur,” kata Chaerul untuk menenangkan
istrinya yang terpanik-panik menghadapi perkembangan situasi ini.
“Sekarang aku minta kasihkan sisa uang kamu ke aku! Kali ini aku yang buka usaha! Kamu diam di rumah!”
Giliran istri Chaerul yang membuka usaha yang sudah lama
diimpikannya, dan sangat sesuai dengan pendidikan dan keahliannya, yaitu
klinik perawatan gigi. Usaha ini berkembang lumayan bagus, dan untuk
sementara kehidupan rumah-tangga Chaerul bisa terselamatkan.
Namun istri Chaerul tak pernah merasa tenang, sebab bagaimanapun
Chaerul masih memiliki banyak utang pada Om Sur, yang total jumlahnya
mencapai hampir semiliar. Chaerul selalu berusaha menenangkan istrinya
dengan mengatakan bahwa pada kenyataannya Om Sur tak pernah menagih
piutangnya.
“Tapi sampai kapan pun utang tetap utang,” kata istrinya.
“Tapi kamu sendiri tahu sampai kapan pun aku atau kita tak akan pernah mampu membayarnya!”
“Jadi kita harus bagaimana???”
“Tenang. Kamu harus belajar menghadapi persoalan ini dengan tenang. Masalah ini akan terselesaikan oleh berjalannya waktu.”
“Maksudmu?”
Dengan suara berbisik, seperti takut ada orang lain yang
mendengar—padahal di ruangan ini tak ada siapa-siapa kecuali mereka
berdua—Chaerul menjawab, “Cepat atau lambat Om Sur akan meninggal dunia.
Begitu meninggal dunia urusan utang-piutang dengan beliau aku yakin
akan sirna dengan sendirinya….”
Kenyataannya tiga bulan setelah terkena stroke Om Sur justru dikabarkan meningkat kesadarannya…!
“Tadi siapa yang menelepon?”
“Perawat rumah-sakit di Jakarta. Kamu kan ngasih nomor kita ke perawat di sana supaya sewaktu-waktu bisa menelepon kita.”
Chaerul pun menelepon balik. Penjelasan yang diterimanya membuat
seluruh tubuhnya gemetar. Perawat itu bercerita bahwa meski tak bisa
bicara, Om Sur bisa menulis dengan tulisan yang kacau tapi tetap bisa
terbaca. Dan kata-kata yang berulang-kali ditulisnya ialah “Piutang…
piutang… piutang….”
***
“TERNYATA benar dugaanku,” kata Arifin, yang sebelumnya secara
khusus meminta agar Chaerul segera datang ke Jakarta. “Seperti pernah
aku bilang, menjelang terkena stroke Papa sering bicara masalah
piutang, dan ternyata setelah tiga bulan tak sadar pun, Papa siuman lagi
hanya untuk mengatakan yang sama. Jelas ini suatu pertanda, bahwa Papa
akan merasa tenang hanya setelah semua urusan piutang bisa
diselesaikan.”
Chaerul merasa keringat dingin membasahi seluruh badannya.
“Bang Amri kemarin mengembalikan tiga lukisan Papa yang selama ini
dipajang di rumahnya. Mbak Rosa mengembalikan dua almari antik
kesayangan Papa. Vina transfer dua puluh juta buat membayar utangnya
waktu dia perlu membiayai operasi usus buntu anaknya. Tinggal Bang
Chaerul yang belum. Pembayaran utang Abang benar-benar ditunggu karena
kami mulai kekurangan dana untuk menutup biaya rumah-sakit.”
Chaerul pulang ke Lampung dalam kondisi lemah-lunglai. Setelah lebih
dari empat jam berdiskusi dengan istrinya dalam suasana yang sangat
panas dan keras, akhirnya mereka sepakat menjual rumah mereka yang besar
dan berlantai dua berikut tanah seluas dua ribu meter untuk membeli
rumah yang jauh lebih kecil. Begitu selesai menerima pembayaran Chaerul
langsung mentransfer dana tersebut ke Arifin. Dan Arifin langsung pula
mentransfernya ke rumah sakit untuk menutup semua tagihan. Semua pihak
merasa lega, dan berharap Om Sur menjadi lebih tenang di masa akhir
hayatnya.
Di luar dugaan, kondisi Om Sur makin membaik. Tatapan matanya
bersinar lagi dan bahkan mulutnya yang suka bergerak-gerak mulai
mengeluarkan suara. Suara-suara itu berangsur makin jelas dan para
pembezuk bisa menangkap yang beliau ucapkan: “Chaerul… Chaerul…
Chaerul….”
Chaerul terpaksa balik ke Jakarta lagi.
“Memang Om Sur belum tahu kalau aku sudah melunasi semua utangku?”
Arifin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku sudah membisikkan
semuanya ke Papa, tapi tak ada yang tahu persis Papa sebenarnya tahu
atau tidak apa yang aku bisikkan. Kenyataannya dia terus-menerus
menyebut nama Abang, dan itu berarti Papa benar-benar ingin bertemu
Abang.”
Chaerul pun masuk ruang ICU dengan perasaan berdebar. Ia mendekatkan
mulutnya ke dekat telinga Om Sur dan berbisik, “Om… ini Chaerul, Om.”
Om Sur membuka matanya. Senyum tipis membayang di wajahnya.
“Chae… rul….”
“Ya, Om.”
“Om… tak akan… tenang… kalau belum… bicara sama… kamu….”
“Ada apa, Om?”
“Om ingin… menganggap lunas semua utangmu…. Dengan nama Allah, Om
bersumpah… tak ada lagi… utang-piutang… di antara kita…. Lailaha
ilalaah…..”
Terdengar suara alarm panjang pertanda terhentinya detak jantung.
Dokter dan para perawat berdatangan. Mereka sempat bingung, mana yang
harus mereka tangani lebih dulu. Almarhum Om Sur, atau Chaerul, yang
tergolek lemah di lantai dengan mulutnya yang berubah bentuk. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar