membahas
Ketujuh: Tidak mempersoalkan kesalahan kecil si istri
Inilah petunjuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah
seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si pria tidak menyukai
suatu akhlak pada si wanita, maka hendaklah ia melihat sisi lain yang ia
ridhoi” (HR. Muslim no. 1469). Karena istri tentu saja dalam bersikap dan kelakuan tidak bisa seratus persen perfect sebagaimana yang suami inginkan. Bersabarlah dan tetap terus menasehati istri dengan cara yang baik.Kedelapan: Tidak memukul istri di wajah dan tidak menjelek-jelekkan istri
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ
اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ
إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan
sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau
berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di
wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak
mendiamkannya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).Kenapa tidak boleh memukul wajah istri?
Karena wajah adalah bagian tubuh yang paling mulia dan paling terlihat oleh orang lain. Di wajah terdapat anggota lainnya yang mulia dan lembut. Hadits ini merupakan dalil wajibnya menjauhi memukul wajah ketika mendidik istri.
Dalam hadits di atas pun terdapat ajaran tidak menjelek-jelekkan istri dan tidak mencela atau mendoakan jelek pada istri seperti dengan do’a “semoga Allah menjelakkanmu”. Seperti ini tidak dibolehkan (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 6: 127).
Dalam hadits lainnya dari ‘Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ
“Salah
seorang di antara kalian tidak boleh mencambuk istrinya seperti
cambukan pada seorang budak lalu ia menyetubuhi istrinya di akhir malam” (HR. Bukhari no. 5204).‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ
قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ
إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku tidaklah
pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah
memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di
jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)Boleh mendidik istri dengan memukul namun tidak di wajah dan tidak dengan pukulan yang keras atau tidak boleh dengan pukulan yang menampakkan bekas. Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,
وَلَكُمْ
عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ
فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban
istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh
seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian,
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).Kaedah dalam memukul istri
Diterangkan dalam ayat berikut ini,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya (pembangkangannya), maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka.” (QS. An Nisa’: 34). Disimpulkan bahwa ada tiga kaedah ketika ingin memukul istri:- Ketika nasehat tidak lagi diperhatikan dan tidak ada manfaat setelah berpisah dengan istri dari ranjang.
- Pukulannya dalam rangka mendidik dan tidak membekas serta tidak merusak tulang.
- Tidak lagi memukul istri ketika istri sudah berubah menjadi taat dan menurut pada perintah suami.
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam ayat dan hadits sebelumnya di atas. Mengenai makna hajr di ranjangpada ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Dan hajr-lah (pisahkanlah mereka) di tempat tidur mereka”, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan
bahwa maknanya adalah tidak satu ranjang dengannya dan tidak
berhubungan intim dengan istri sampai ia sadar dari kesalahannya (Lihat
Taisir Al Karimir Rahman, 177).Ibnul Jauzi menerangkan mengenai makna hajr di ranjang ada beberapa pendapat di kalangan pakar tafsir:
- Tidak berhubungan intim
- Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
- Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
- Pisah ranjang (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).
Kesepuluh: Memberikan hak istri dalam hubungan intim
Hal ini dapat kita ambil pelajaran dari hadits Abu Darda’ berikut ini.
آخَى
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى
الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ
الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ
أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو
الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى
صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ .
فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ .
فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ
آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ
سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ .
فَأَتَى النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « صَدَقَ سَلْمَانُ »
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman
mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya,
Ummu Darda’, dalam keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada
Ummu Darda’, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan ia tidak lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. “Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’. Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ menyantap makanan tersebut.Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Salman malah berkata pada Abu Darda’, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi yang sama, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri (yaitu memberi supply makanan dan mengistirahatkan badan, pen), dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani istri, pen). Maka berilah porsi yang pas untuk masing-masing kewajiban tadi.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari no. 968).
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, suami itu wajib menyetubuhi istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan kecukupan istri. Inilah pendapat yang tepat, berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharuskan suami harus menyetubuhi istrinya minimal empat bulan sekali. Namun yang tepat adalah pendapat pertama.
Kesebelas: Memberikan istri kesempatan untuk menghadiri shalat jama’ah selama keluar dengan hijab yang sempurna dan juga memberi izin bagi istri untuk mengunjungi kerabatnya, sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam kisah Ummu Zar’ dan Abu Zar’ sebelumnya.
Keduabelas: Tidak menyebar rahasia dan aib istri, sebagaimana pernah diterangkan dalam kewajiban istri.
Ketigabelas: Berhias diri di hadapan istri sebagaimana suami menginginkan demikian pada istri
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).Keempatbelas: Selalu berprasangka baik dengan istri
Inilah mengapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan agar suami tidak terlalu penuh curiga ketika ia meninggalkan istrinya lalu datang dan ingin mengungkap aib-aibnya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Jika
salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia
mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita yang
ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah
shallallahu 'alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di
malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya
atau untuk mencari-cari kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).Hadits semacam ini kata Al Muhallab adalah dalil yang menunjukkan terlarang mencari-cari kesalahan dan kelengahan istri karena ini adalah bagian dari fitnah dan termasuk berburuk sangka padanya (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, 13: 372, Asy Syamilah).
Semoga Allah memudahkan kita selaku para suami untuk memenuhi kewajiban ini terhadap istri dan anak-anak kita. Semoga dengan mengamalkannya keluarga kita akan mendapatkan rahmat Allah dan selalu diisi dengan kasih sayang.
Wallahu
waliyyut taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi
wa shohbihi wa sallam. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat.
Referensi:
- ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyyib, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1415 H
- Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, 3: 213-215
- Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, Asy Syamilah
- Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di, terbitan Muassasah Ar Risalah , cetakan pertama, tahun 1423 H
- Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar