Senin, 25 November 2013

Guru yang Galak

                      

            WAJAHNYA brewokan dan jarang tersenyum. Setiap mengajar pelajaran matematika, anak-anak tidak menyukainya, sebab terkadang dia marah-marah kalau ada siswa yang tidak bisa mengerjakan. Tidak hanya itu, dia pun tidak seagan-segan menjewer kuping siswa yang tidak mengerjakan tugas atau tangannya melayang kepada siswa yang tidak bisa menyelesaikan soal matematika. Selama pelajaran berlangsung, tidak ada siswa yang berani ngobrol atau bercakap-cakap dengan temannya. Semua mata harus memperhatikan apa yang sedang dijelaskan oleh Pak Enjang.
            Tetapi dibalik kegalakannya, tetap sebagai seorang pendidik ada rasa tanggungjawab yang sangat besar. Dia pernah berkata kepada anak-anak,”Bapak itu bukan marah tanpa alasan, menempeleng atau menjewer kamu tanpa dasar. Coba ingat-ingat, setiap kali bapak marah dan menjewer telinga kalian, apakah yang salah itu bapak atau kalian. Bapak sudah menyuruh mengerjakan tugas, tetapi kamu tidak mengerjakan. Itu berarti kamu sudah melanggar perintah guru, dan wajib mendapat sanksi. Ya sanksinya dijewer telinga atau ditempeleng.. Bapak melakukan semua itu karena rasa tanggungjawab bapak kepada kalian di masa yang akan datang. Kalau kalian tidak pernah menurut sama guru, lantas yang kalian tururi perintah itu siapa?”
            Benar juga apa yang dikatakan Pak Enjang. Aku baru menyadari dari sikapnya yang galak, ternyata hatinya  sangat mulia dan ingin agar anak-anaknya maju dan berhasil di masa yang akan datang.
            Tetapi ada beberapa anak  yang telah merencakan perbuatan jahat kepada Pak Enjang, sebab mereka merasa selama ini sakit hati dengan tindakannya yang cenderung kasar.  Bagi mereka menjewer masih dianggap wajar, tetapi kalau menempeleng, mereka tidak bisa menerima. Mereka pernah ditempeleng disebabkan tidak mengerjakan tugas matematika. Ada lima orang yang merencanakan niat jahat itu adalah Deni, Dadang, Danu, Adeng dan Ujang.
            Ujang teman yang dekat dengan aku, rumahnya tidak jauh denganku. Ketika niat jahat  itu kusampaikan kepadaku, aku kaget.
            “Jadi kamu dengan teman-teman kamu akan berbuat jahat kepada Pak Enjang!” kataku penasaran.
            “Benar, soalnya kami ditampar sangat keras. Sampai sekarang aku masih merasakan sakit!”
            “Tapi yang salah kan kamu juga…mengapa tugas PR tidak dikerjakan?”
            “Tapi jangan begitu dong! Aku sendiri tidak pernah ditampar sama bapakku..tapi Pak Enjang keterlaluan!”
            “Itu kan memberi pelajaran kepada kamu agar di lain waktu tugas kamu dikerjakan…!”
            “Ah, pokoknya aku tidak terima. Kami sudah sepakat akan melakukan sesuatu buat Pak Enjang, agar dia kapok!”
            “Memangnya kamu mau merencanakan perbuatan jahat apa?”
            “Itu rahasia…kamu tidak perlu tahu?”
            “Sebaiknya niat kalian urungkan…sebelum terjadi apa-apa?”
            “Pokoknya kami sudah merencakan matang sekali!...lihat saja nanti!” Ujang mengancam.
            Aku jadi gelisah dan bingung atas tindakan teman-teman yang akan merencanakan perbuatan jahat. Terus saja aku sama sekali tidak setuju dengan tindakan mereka,sebab akan menimbulkan akibat yang berbahaya, mereka bisa diancam tidak naik kelas. Niat jahat apa yang akan mereka lakukan? Itulah yang membuat aku penasaran.
            Apakah sebaiknya yang harus aku lakukan? Aku bingung menghadapi semua itu. Apakah aku harus segera mencegah perbuatan mereka sebelum terjadi? Ataukah aku mendatangi saja Pak Enjang, kemudian kusampaikan niat jahat mereka? Tetapi kalau mereka tahu aku yang melaporkan, maka pasti aku akan dimusuhi?
            Aku terus berpikir mencari jalan terbaik menghadapi masalah ini. Malam hari aku membuat keputusan sendiri, aku harus segera menemui Pak Enjang dan menyampaikan  sendiri niat jahat beberapa teman sekelas. Besok pagi aku harus segera menemui Pak Enjang dan kusampaikan apa yang akan dilakukan oleh Ujang dan rekan-rekannya.
            Pagi-pagi aku sudah berada di sekolah. Aku akan segera menemui Pak Enjang untuk menyampaikan rencana yang akan dilakukan oleh para siswa kelas 6 itu. Namun hari itu guru matematika itu tidak masuk sekolah, karena sakit. Aku heran, jangan-jangan mereka sudah melakukan perbuatan jahat. Aku jadi cemas.
            Ujang bersama rekan-rekannya nampak berkumpul. Mereka terlihat tertawa bersama, entah apa yang ditertawakan. Aku segera mendekati mereka dan bertanya pada Ujang.
            “Jang, apakah rencana kamu sudah dilaksanakan?”
            “Ya sudah, tadi malam aku mendatangi rumahnya…!”
            “Lantas apa yang kamu lakukan?” aku cemas.
            “Kami lempari rumahnya dengan batu-batu, kaca rumahnya pecah dan kami lempari kepalanya …sekarang Pak Enjang  tidak masuk….nah itulah akibatnya!”
            “Kalian jahat….tidak pantas berbuat begitu?” aku berteriak pada mereka. “Pak Enjang adalah guru yang sangat sayang kepada kita, tetapi mengapa kalian tega berbuat begitu?”
            “Itu hak kami…sekarang kamu mau apa?” tanya Deni yang memiliki tubuh agak besar dibandingkan dengan yang lain.
            “Masa kalian kepada guru bertindak begitu?”
            “Aku hanya ingin memberi pelajaran saja!”
            Aku geram dengan tindakan teman-teman itu. Hari itu, selesai jam pelajaran sekolah aku bergegas menuju rumah Pak Enjang yang kebetulan tidak terlalu jauh dari sekolah.
            Namun ketika sampai di rumah, aku kaget sebab apa yang dikatakan Ujang dan Deni sama sekali tidak berbeda dengan kenyataan. Rumah Pak Enjang tidak ada yang rusak, demikian pula tida ada kaca yang pecah. Aku bersyukur karena kekhawatiranku tidak terbukti.
            Aku mengetuk pintu rumahnya dan menyampaikan salam. Terdengar suara Pak Enjang dari dalam rumah, kemudian pintu  terbuka. Terlihat  wajah Pak Enjang pucat pasi menahan sakit.
            “Bapak kenapa? Aku cemas terjadi apa-apa dengan bapak?” tanyaku.
            “Bapak sejak kemarin terkena demam panas…hari ini mau ke dokter?”
            “Adakah teman sekelas yang datang ke sini?”
            “Ada waktu malam ke sini…mereka adalah Ujang, Udin, Dadang, Danu dan Adeng..mereka mengunjungi bapak karena mendengar bapak sakit…tapi mereka menyampaikan protes terhadap sikap bapak yang tidak mereka terima…yaitu menempeleng siswa…mereka keberatan dengan tindakan keras bapak menempeleng….jadi  bapak berjanji tidak akan menempeleng siswa sebab tindakan itu merupakan perbuatan kasar yang tidak pantas dilakukan bapak. Jadi  bapak mohon maaf kepada mereka!”
            “Jadi tidak ada kejahatan yang mereka lakukan?” tanyaku penasaran.
            “Sama sekali tidak ada…bahkan mereka datang dengan sopan santun…bapak jadi malu sendiri…ternyata selama ini tindakan bapak tidak tepat. Ada protes dari siswa membuat bapak sadar,  bapak menempeleng adalah tindakan yang tidak dibenarkan dalam mendidik anak-anak…bapak sudah meminta maaf!”
            Aku  bengong, ternyata Ujang telah berbohong padaku. Apa maksud mereka begitu? Namun aku bahagia sebab ternyata mereka sama sekali tidak memiliki hati jahat, justru sebalikya mereka berhati mulia. Ketika besoknya bertemu, langsung saja aku menegur mereka,
            “Kalian ini apa-apaan telah membohongi aku?” kataku kesal.
            “Ha…ha…ha ,“ serempak mereka tertawa.
            “Kami hanya ingin menguji kamu saja….apakah kamu percaya atau tidak kepada kami sebelum kamu membuktikannnya?” ucapnya.
            Aku kesal dengan mereka, namun aku bahagia juga sebab mereka justru ingin mengetahui apakah aku termasuk siswa yang hati-hati atau tidak, ternyata aku mendapat pelajaran yang berharga dari mereka. Aku jadi malu sendiri!****
                                                                        Demak, 26 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar