WAJAHNYA
brewokan dan jarang tersenyum. Setiap mengajar pelajaran matematika,
anak-anak tidak menyukainya, sebab terkadang dia marah-marah kalau ada
siswa yang tidak bisa mengerjakan. Tidak hanya itu, dia pun tidak
seagan-segan menjewer kuping siswa yang tidak mengerjakan tugas atau
tangannya melayang kepada siswa yang tidak bisa menyelesaikan soal
matematika. Selama pelajaran berlangsung, tidak ada siswa yang berani
ngobrol atau bercakap-cakap dengan temannya. Semua mata harus
memperhatikan apa yang sedang dijelaskan oleh Pak Enjang.
Tetapi
dibalik kegalakannya, tetap sebagai seorang pendidik ada rasa
tanggungjawab yang sangat besar. Dia pernah berkata kepada
anak-anak,”Bapak itu bukan marah tanpa alasan, menempeleng atau menjewer
kamu tanpa dasar. Coba ingat-ingat, setiap kali bapak marah dan
menjewer telinga kalian, apakah yang salah itu bapak atau kalian. Bapak
sudah menyuruh mengerjakan tugas, tetapi kamu tidak mengerjakan. Itu
berarti kamu sudah melanggar perintah guru, dan wajib mendapat sanksi.
Ya sanksinya dijewer telinga atau ditempeleng.. Bapak melakukan semua
itu karena rasa tanggungjawab bapak kepada kalian di masa yang akan
datang. Kalau kalian tidak pernah menurut sama guru, lantas yang kalian
tururi perintah itu siapa?”
Benar juga apa yang dikatakan Pak Enjang. Aku baru menyadari dari sikapnya yang galak, ternyata hatinya sangat mulia dan ingin agar anak-anaknya maju dan berhasil di masa yang akan datang.
Tetapi ada beberapa anak yang
telah merencakan perbuatan jahat kepada Pak Enjang, sebab mereka merasa
selama ini sakit hati dengan tindakannya yang cenderung kasar. Bagi
mereka menjewer masih dianggap wajar, tetapi kalau menempeleng, mereka
tidak bisa menerima. Mereka pernah ditempeleng disebabkan tidak
mengerjakan tugas matematika. Ada lima orang yang merencanakan niat
jahat itu adalah Deni, Dadang, Danu, Adeng dan Ujang.
Ujang teman yang dekat dengan aku, rumahnya tidak jauh denganku. Ketika niat jahat itu kusampaikan kepadaku, aku kaget.
“Jadi kamu dengan teman-teman kamu akan berbuat jahat kepada Pak Enjang!” kataku penasaran.
“Benar, soalnya kami ditampar sangat keras. Sampai sekarang aku masih merasakan sakit!”
“Tapi yang salah kan kamu juga…mengapa tugas PR tidak dikerjakan?”
“Tapi jangan begitu dong! Aku sendiri tidak pernah ditampar sama bapakku..tapi Pak Enjang keterlaluan!”
“Itu kan memberi pelajaran kepada kamu agar di lain waktu tugas kamu dikerjakan…!”
“Ah, pokoknya aku tidak terima. Kami sudah sepakat akan melakukan sesuatu buat Pak Enjang, agar dia kapok!”
“Memangnya kamu mau merencanakan perbuatan jahat apa?”
“Itu rahasia…kamu tidak perlu tahu?”
“Sebaiknya niat kalian urungkan…sebelum terjadi apa-apa?”
“Pokoknya kami sudah merencakan matang sekali!...lihat saja nanti!” Ujang mengancam.
Aku
jadi gelisah dan bingung atas tindakan teman-teman yang akan
merencanakan perbuatan jahat. Terus saja aku sama sekali tidak setuju
dengan tindakan mereka,sebab akan menimbulkan akibat yang berbahaya,
mereka bisa diancam tidak naik kelas. Niat jahat apa yang akan mereka
lakukan? Itulah yang membuat aku penasaran.
Apakah
sebaiknya yang harus aku lakukan? Aku bingung menghadapi semua itu.
Apakah aku harus segera mencegah perbuatan mereka sebelum terjadi?
Ataukah aku mendatangi saja Pak Enjang, kemudian kusampaikan niat jahat
mereka? Tetapi kalau mereka tahu aku yang melaporkan, maka pasti aku
akan dimusuhi?
Aku
terus berpikir mencari jalan terbaik menghadapi masalah ini. Malam hari
aku membuat keputusan sendiri, aku harus segera menemui Pak Enjang dan
menyampaikan sendiri niat jahat beberapa teman sekelas.
Besok pagi aku harus segera menemui Pak Enjang dan kusampaikan apa yang
akan dilakukan oleh Ujang dan rekan-rekannya.
Pagi-pagi
aku sudah berada di sekolah. Aku akan segera menemui Pak Enjang untuk
menyampaikan rencana yang akan dilakukan oleh para siswa kelas 6 itu.
Namun hari itu guru matematika itu tidak masuk sekolah, karena sakit.
Aku heran, jangan-jangan mereka sudah melakukan perbuatan jahat. Aku
jadi cemas.
Ujang
bersama rekan-rekannya nampak berkumpul. Mereka terlihat tertawa
bersama, entah apa yang ditertawakan. Aku segera mendekati mereka dan
bertanya pada Ujang.
“Jang, apakah rencana kamu sudah dilaksanakan?”
“Ya sudah, tadi malam aku mendatangi rumahnya…!”
“Lantas apa yang kamu lakukan?” aku cemas.
“Kami lempari rumahnya dengan batu-batu, kaca rumahnya pecah dan kami lempari kepalanya …sekarang Pak Enjang tidak masuk….nah itulah akibatnya!”
“Kalian
jahat….tidak pantas berbuat begitu?” aku berteriak pada mereka. “Pak
Enjang adalah guru yang sangat sayang kepada kita, tetapi mengapa kalian
tega berbuat begitu?”
“Itu hak kami…sekarang kamu mau apa?” tanya Deni yang memiliki tubuh agak besar dibandingkan dengan yang lain.
“Masa kalian kepada guru bertindak begitu?”
“Aku hanya ingin memberi pelajaran saja!”
Aku
geram dengan tindakan teman-teman itu. Hari itu, selesai jam pelajaran
sekolah aku bergegas menuju rumah Pak Enjang yang kebetulan tidak
terlalu jauh dari sekolah.
Namun
ketika sampai di rumah, aku kaget sebab apa yang dikatakan Ujang dan
Deni sama sekali tidak berbeda dengan kenyataan. Rumah Pak Enjang tidak
ada yang rusak, demikian pula tida ada kaca yang pecah. Aku bersyukur
karena kekhawatiranku tidak terbukti.
Aku mengetuk pintu rumahnya dan menyampaikan salam. Terdengar suara Pak Enjang dari dalam rumah, kemudian pintu terbuka. Terlihat wajah Pak Enjang pucat pasi menahan sakit.
“Bapak kenapa? Aku cemas terjadi apa-apa dengan bapak?” tanyaku.
“Bapak sejak kemarin terkena demam panas…hari ini mau ke dokter?”
“Adakah teman sekelas yang datang ke sini?”
“Ada
waktu malam ke sini…mereka adalah Ujang, Udin, Dadang, Danu dan
Adeng..mereka mengunjungi bapak karena mendengar bapak sakit…tapi mereka
menyampaikan protes terhadap sikap bapak yang tidak mereka terima…yaitu
menempeleng siswa…mereka keberatan dengan tindakan keras bapak
menempeleng….jadi bapak berjanji tidak akan menempeleng siswa sebab tindakan itu merupakan perbuatan kasar yang tidak pantas dilakukan bapak. Jadi bapak mohon maaf kepada mereka!”
“Jadi tidak ada kejahatan yang mereka lakukan?” tanyaku penasaran.
“Sama
sekali tidak ada…bahkan mereka datang dengan sopan santun…bapak jadi
malu sendiri…ternyata selama ini tindakan bapak tidak tepat. Ada protes
dari siswa membuat bapak sadar, bapak menempeleng adalah tindakan yang tidak dibenarkan dalam mendidik anak-anak…bapak sudah meminta maaf!”
Aku bengong,
ternyata Ujang telah berbohong padaku. Apa maksud mereka begitu? Namun
aku bahagia sebab ternyata mereka sama sekali tidak memiliki hati jahat,
justru sebalikya mereka berhati mulia. Ketika besoknya bertemu,
langsung saja aku menegur mereka,
“Kalian ini apa-apaan telah membohongi aku?” kataku kesal.
“Ha…ha…ha ,“ serempak mereka tertawa.
“Kami hanya ingin menguji kamu saja….apakah kamu percaya atau tidak kepada kami sebelum kamu membuktikannnya?” ucapnya.
Aku
kesal dengan mereka, namun aku bahagia juga sebab mereka justru ingin
mengetahui apakah aku termasuk siswa yang hati-hati atau tidak, ternyata
aku mendapat pelajaran yang berharga dari mereka. Aku jadi malu
sendiri!****
Demak, 26 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar