Selasa, 13 Mei 2014

UNTUK AYAH


Anakku..
Memang ayah tidak mengandungmu,
tapi darahnya mengalir di darahmu,
namanya melekat dinamamu ...
Memang ayah tak melahirkanmu,


Memang ayah tak menyusuimu,
tapi dari keringatnyalah setiap tetesan yang menjadi air susumu ...
Nak..
Ayah memang tak menjagamu setiap saat,
tapi tahukah kau dalam do'anya selalu ada namamu disebutnya ...
Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar
karena dia ingin terlihat kuat 

agar kau tak ragu untuk berlindung di lengannya dan dadanya 
ketika kau merasa tak aman...
Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat bunda, 
karena kecintaanya dia takut tak sanggup melepaskanmu...
Dia ingin kau mandiri, 
agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri..
Bunda hanya ingin kau tahu nak..
bahwa...
Cinta ayah kepadamu sama besarnya dengan cinta bunda..
Anakku...
Jadi didirinya juga terdapat surga bagimu... 
Maka hormati dan sayangi ayahmu...

Senin, 12 Mei 2014

Wong Jawa ilang Jiwane



Senangkah Anda bila punya anak yang mau “ngajeni” kepada Anda selaku orang tua dan kepada orang lain??
Senangkah Anda bila punya anak yang dalam keseharian ia berkomunikasi dengan bahasa Jawa secara ‘basa’ kepada Anda selaku orang tua dan kepada orang lain??
Saya pernah dengar sebuah kalimat yang diucapkan oleh orang tua dikala saya masih kecil. Saya yakin beliau juga sekedar meneruskan kalimat yang diucapkan dari para orang tua pada waktu itu. Hingga secara turun temurun (sampai saat ini) kalimat itu masih lestari diucapkan. Tahukah Anda, apa yang diucapkan itu? Sebenarnya kalimat itu sangat singkat dan sederhana, ucapannya begini : “Wong Jawa ilang Jawane”! Dulu saya cuek dan masa bodoh dengan kalimat yang (menurut saya pada waktu itu) tak punya makna sama sekali. Tapi lama-lama (sejalan dengan proses hidup saya yang lama-lama agak nalar) saya agak tersinggung kalau dibilang seperti itu.
Lalu kepada teman-teman muda, saya juga menyampaikan kalimat itu yang sedikit saya rubah, “Wong Jawa ilang Jiwane”.  Maksud saya bukan mau menyinggung perasaan teman-teman saya, tapi saya hanya sekedar mengingatkan bahwa sebagai orang Jawa, kita mempunyai kewajiban menjaga jiwa dan falsafah hidup kita sebagaimana jiwa-nya orang Jawa. Saya anggap ini tidak muluk-muluk. Karena bagaimanapun juga kita yang dilahirkan di tanah Jawa dan ditakdirkan sebagai orang Jawa, mempunyai tanggungjawab untuk menjaga budaya Jawa yang salah satunya melalui perilaku kita sehari-hari. Diawali dari kecintaan dan rasa memiliki terhadap budaya Jawa, sampai dengan menjadi pelaku pelestari budaya Jawa yang beraneka ragam mulai dari perilaku, membangun jati diri, bertetangga, berbahasa, sampai dengan menjadi pelaku seni misalnya.
Saya sempat heran dan tidak tahu kenapa. Di lingkungan tempat tinggal saya yang lingkungannya seper seribu dari kondisi lingkungan Kuto  alias ‘ndeso Bumiharjo’, (Maaf) Ada salah satu keluarga yang menurut pengamatan saya aktifitas kesehariannya full di desa dan jarang sekali (belum tentu setahun sekali) ‘srawung’ dengan orang-orang yang tidak bisa berbicara dengan bahasa Jawa, jarang sekali piknik ke luar ‘daerah bahasa Jawa’. Dia adalah sepasang suami istri yang dikenal cukup pandai di desa saya. Ketika itu mereka punya anak yang saat usianya menginjak 3 tahun saya sempat mengatakan….‘bocah kuwi mesakake …..!!”. Kenapa? Apa kurang gizi? Apa cacat fisik?? Tidak! Pertumbuhan tubuhnya sangat sehat, parasnya cerah, dan dari tingkahnya dia pintar. Saya mengatakan “mesakake”, kasihan, karena ia tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan usia sebayanya, sehingga mempengaruhi terhadap kebebasan bergaul sesama usia. Lho..?? Apa dia belum bisa berbicara…?? Apa ada tanda-tanda tuna wicara…?? Tidak! Anak itu cukup jelas mengucapkan kata-kata sesuai yang ia maksud. Lalu kenapa?
Persoalannya cukup sederhana. Dia memiliki keterbatasan berkomunikasi dengan teman sebayanya karena dia tidak tahu apa maksud yang diucapkan oleh temannya dan sebaliknya teman bermainnya juga tidak memahami apa yang diucapkan olehnya. Sepele bukan? Hanya karena perbedaan bahasa. Kok berbeda? Itulah yang saya katakan “bocah kuwi mesakake”!! Terkesan keren memang, anak sekecil itu sudah lancar berbahasa Indonesia. Ternyata memang sejak dia lahir 3 tahun sebelumnya, kedua orang tuanya yang asli orang Jawa sudah menanamkan metode komunikasi dengan bahasa Indonesia. Sejak kecil ia selalu ‘dikudang’ oleh orang tuanya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jadi memang orang tuanya sengaja memberi pendidikan kepada anak itu untuk menggunakan bahasa komunikasi bahasa Indonesia. Salahkah mereka??
Sebentar…..! Saya punya cerita satu lagi. Tentang tetangga saya juga. Sama seperti pasangan keluarga tersebut. Bedanya, keluarga ini adalah sepasang suami istri yang (maaf) tak pernah mengenyam pendidikan. Nonton TV-pun dia tidak bisa memahami (kecuali bahasa pengantarnya bahasa Jawa). Sepuluh tahun yang lalu keluarga ini menerima anugrah seorang bayi. Dengan penuh syukur mereka mendidik anaknya, yang tentunya karena tidak paham terhadap bahasa lain kecuali bahasa Jawa, ia menanamkan pada jiwa anak itu dengan bahasa pengantar bahasa Jawa. Wal hasil, ketika ia masuk usia Taman Kanak Kanak, ia sudah bisa berbahasa Jawa dengan mampu membedakan bagaimana ia menyebut diri sendiri (mbasakke awake dhewe) dan bagaimana menyebut orang lain (mbasakke wong liya) baik sebaya maupun orang yang diatas usianya atau orang yang harus dihormati lainnya. Singkatnya ia memahami unggah ungguh bahasa Jawa. Dan ternyata, ketika masuk sekolah TK, lambat laun ia lancar berbahasa Indonesia.
Nah, dari cerita yang kedua, logika saya mengatakan bahwa, siapapun anak itu selagi dia tidak memiliki gangguan potensi berbicara, tanpa diajarkan oleh orangtuanya-pun akhirnya ‘pasti’ bisa berbahasa Indonesia melalui pendidikan formalnya. Tapi sebaliknya,  (ini yang cukup disayangkan), 
Terus, bagaimana agar kita tidak kehilangan Jawa kita? Bagaimana agar tidak kehilangan Jiwa kita?
Ini harus diawali dari diri kita sendiri!

Sabtu, 08 Februari 2014

Senin, 03 Februari 2014

jejakmu yang hilang

Jemari indahmu merangkul bayangku, menggenggam bara
cinta yang tumbuh menjulang, ratapan tangismu merajuk nan gelisah, mengepakkan rindu
melayang mengitari jiwaku.
Tetesan air mata suci membasahi pipimu, menukar rindu dengan kepahitan yang membuncah.
Tapak yang engkau pijakkan kedalam nadiku, menghanyutkanku kepulau asmara, lalu engkau berdiri
dipersimpangan yang berliku, membutakanmu menjajaki nalurimu.
Kini terpahan gelombang
bergelinding ketepi pantai, menyirami pijakan indah yang
engkau tampakkan dipesisir jiwaku, lalu engkau hanyut dan
tenggelam kedasar samudra, yang menyulitkanku menyelami mencari jejakmu.

aku bukan yang terbaik untukmu

maaf…
karna hanya harapan kosong
yang tlah Q berikan padamu
dan tlah membuat mu kecewa
Q hanya terlalu takut
bila kau terlalu mencintaiku
Q kan membuatmu lebih kecewa
karna kau tak mengenalku kehidupanku
meski smua orang terdekatmu bicara
Q tlah bisa mengubah hidupmu jadi lebih indah
hanya Q yg slalu bisa membuatmu tersenyum
namun tetap Q bukan yang terbaik untukmu
kau tercipta terlalu sempurna
sedangkan aku hanyalah manusia biasa
yang terlalu banyak kekurangan
hingga Q tak pantas tuk miliki dirimu
bait-bait puisi ini Q ciptakan untukmu
sebagai kata hatiku untukmu yang paling baik dan sejujurnya
I love U so much
and will always remember in my heart

Menanti Usainya Sepi



Denyut kursi bergoyang
menemani sepinya hari
hembusan angin berbisik
tanda bermain
wajah mentari tersenyum bahagia
dan ku sendiri 
menanti usainya sepi
bagai air yg tak tau kan bermuara
bisikan sayu hujan dimalam ini
bahkan tak terdengar indah lagi
bulan yg menemani 
tak menampakan indahnya lagi
aku sendiri menunggu sepi
Denyut kursi bergoyang
menemani sepinya hari
hembusan angin berbisik
tanda bermain
wajah mentari tersenyum bahagia
dan ku sendiri 
menanti usainya sepi
bagai air yg tak tau kan bermuara
bisikan sayu hujan dimalam ini
bahkan tak terdengar indah lagi
bulan yg menemani 
tak menampakan indahnya lagi
aku sendiri menunggu sepi

Ketika Rindu Bukan Milik Kita Lagi

Aku bersama untaian angin lepas, terbang bersama rinai hujan
hawa dingin mengalir membendung jiwa, hangat itu lenyap
sekujur tubuh basah dan menggigil, merintih di kelam malam dan bisu
aku terbaring kaku di ujung jalan, tak sanggup kaki bergerak kaku
aku mati raga, mati rasa, mati jiwa
ku biarkan mata ini terpejam, menikmati perih yang menusuk hingga ke ubun
merusak otak saraf ku dan lumpuh
lumpuh dunia ku pijak, mengangkat ku pergi, 
pergi meninggal dunia dan senyap