Senangkah Anda bila punya anak yang
mau “ngajeni” kepada Anda selaku orang tua dan kepada orang lain??
Senangkah Anda bila punya anak yang dalam keseharian ia berkomunikasi dengan bahasa Jawa secara ‘basa’ kepada Anda selaku orang tua dan kepada orang lain??
Senangkah Anda bila punya anak yang dalam keseharian ia berkomunikasi dengan bahasa Jawa secara ‘basa’ kepada Anda selaku orang tua dan kepada orang lain??
Saya pernah dengar sebuah kalimat
yang diucapkan oleh orang tua dikala saya masih kecil. Saya yakin beliau juga
sekedar meneruskan kalimat yang diucapkan dari para orang tua pada waktu itu.
Hingga secara turun temurun (sampai saat ini) kalimat itu masih lestari
diucapkan. Tahukah Anda, apa yang diucapkan itu? Sebenarnya kalimat itu sangat
singkat dan sederhana, ucapannya begini : “Wong Jawa ilang Jawane”! Dulu saya
cuek dan masa bodoh dengan kalimat yang (menurut saya pada waktu itu) tak punya
makna sama sekali. Tapi lama-lama (sejalan dengan proses hidup saya yang
lama-lama agak nalar) saya agak tersinggung kalau dibilang seperti itu.
Lalu
kepada teman-teman muda, saya juga menyampaikan kalimat itu yang sedikit saya
rubah, “Wong Jawa ilang Jiwane”. Maksud saya bukan mau menyinggung
perasaan teman-teman saya, tapi saya hanya sekedar mengingatkan bahwa sebagai
orang Jawa, kita mempunyai kewajiban menjaga jiwa dan falsafah hidup kita
sebagaimana jiwa-nya orang Jawa. Saya anggap ini tidak muluk-muluk. Karena
bagaimanapun juga kita yang dilahirkan di tanah Jawa dan ditakdirkan sebagai
orang Jawa, mempunyai tanggungjawab untuk menjaga budaya Jawa yang salah
satunya melalui perilaku kita sehari-hari. Diawali dari kecintaan dan rasa
memiliki terhadap budaya Jawa, sampai dengan menjadi pelaku pelestari budaya
Jawa yang beraneka ragam mulai dari perilaku, membangun jati diri, bertetangga,
berbahasa, sampai dengan menjadi pelaku seni misalnya.
Saya sempat heran dan tidak tahu kenapa. Di lingkungan tempat tinggal saya yang lingkungannya seper seribu dari kondisi lingkungan Kuto alias ‘ndeso Bumiharjo’, (Maaf) Ada salah satu keluarga yang menurut pengamatan saya aktifitas kesehariannya full di desa dan jarang sekali (belum tentu setahun sekali) ‘srawung’ dengan orang-orang yang tidak bisa berbicara dengan bahasa Jawa, jarang sekali piknik ke luar ‘daerah bahasa Jawa’. Dia adalah sepasang suami istri yang dikenal cukup pandai di desa saya. Ketika itu mereka punya anak yang saat usianya menginjak 3 tahun saya sempat mengatakan….‘bocah kuwi mesakake …..!!”. Kenapa? Apa kurang gizi? Apa cacat fisik?? Tidak! Pertumbuhan tubuhnya sangat sehat, parasnya cerah, dan dari tingkahnya dia pintar. Saya mengatakan “mesakake”, kasihan, karena ia tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan usia sebayanya, sehingga mempengaruhi terhadap kebebasan bergaul sesama usia. Lho..?? Apa dia belum bisa berbicara…?? Apa ada tanda-tanda tuna wicara…?? Tidak! Anak itu cukup jelas mengucapkan kata-kata sesuai yang ia maksud. Lalu kenapa?
Persoalannya cukup sederhana. Dia memiliki keterbatasan berkomunikasi dengan teman sebayanya karena dia tidak tahu apa maksud yang diucapkan oleh temannya dan sebaliknya teman bermainnya juga tidak memahami apa yang diucapkan olehnya. Sepele bukan? Hanya karena perbedaan bahasa. Kok berbeda? Itulah yang saya katakan “bocah kuwi mesakake”!! Terkesan keren memang, anak sekecil itu sudah lancar berbahasa Indonesia. Ternyata memang sejak dia lahir 3 tahun sebelumnya, kedua orang tuanya yang asli orang Jawa sudah menanamkan metode komunikasi dengan bahasa Indonesia. Sejak kecil ia selalu ‘dikudang’ oleh orang tuanya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jadi memang orang tuanya sengaja memberi pendidikan kepada anak itu untuk menggunakan bahasa komunikasi bahasa Indonesia. Salahkah mereka??
Sebentar…..! Saya punya cerita satu lagi. Tentang tetangga saya juga. Sama seperti pasangan keluarga tersebut. Bedanya, keluarga ini adalah sepasang suami istri yang (maaf) tak pernah mengenyam pendidikan. Nonton TV-pun dia tidak bisa memahami (kecuali bahasa pengantarnya bahasa Jawa). Sepuluh tahun yang lalu keluarga ini menerima anugrah seorang bayi. Dengan penuh syukur mereka mendidik anaknya, yang tentunya karena tidak paham terhadap bahasa lain kecuali bahasa Jawa, ia menanamkan pada jiwa anak itu dengan bahasa pengantar bahasa Jawa. Wal hasil, ketika ia masuk usia Taman Kanak Kanak, ia sudah bisa berbahasa Jawa dengan mampu membedakan bagaimana ia menyebut diri sendiri (mbasakke awake dhewe) dan bagaimana menyebut orang lain (mbasakke wong liya) baik sebaya maupun orang yang diatas usianya atau orang yang harus dihormati lainnya. Singkatnya ia memahami unggah ungguh bahasa Jawa. Dan ternyata, ketika masuk sekolah TK, lambat laun ia lancar berbahasa Indonesia.
Nah, dari cerita yang kedua, logika saya mengatakan bahwa, siapapun anak itu selagi dia tidak memiliki gangguan potensi berbicara, tanpa diajarkan oleh orangtuanya-pun akhirnya ‘pasti’ bisa berbahasa Indonesia melalui pendidikan formalnya. Tapi sebaliknya, (ini yang cukup disayangkan),
Saya sempat heran dan tidak tahu kenapa. Di lingkungan tempat tinggal saya yang lingkungannya seper seribu dari kondisi lingkungan Kuto alias ‘ndeso Bumiharjo’, (Maaf) Ada salah satu keluarga yang menurut pengamatan saya aktifitas kesehariannya full di desa dan jarang sekali (belum tentu setahun sekali) ‘srawung’ dengan orang-orang yang tidak bisa berbicara dengan bahasa Jawa, jarang sekali piknik ke luar ‘daerah bahasa Jawa’. Dia adalah sepasang suami istri yang dikenal cukup pandai di desa saya. Ketika itu mereka punya anak yang saat usianya menginjak 3 tahun saya sempat mengatakan….‘bocah kuwi mesakake …..!!”. Kenapa? Apa kurang gizi? Apa cacat fisik?? Tidak! Pertumbuhan tubuhnya sangat sehat, parasnya cerah, dan dari tingkahnya dia pintar. Saya mengatakan “mesakake”, kasihan, karena ia tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan usia sebayanya, sehingga mempengaruhi terhadap kebebasan bergaul sesama usia. Lho..?? Apa dia belum bisa berbicara…?? Apa ada tanda-tanda tuna wicara…?? Tidak! Anak itu cukup jelas mengucapkan kata-kata sesuai yang ia maksud. Lalu kenapa?
Persoalannya cukup sederhana. Dia memiliki keterbatasan berkomunikasi dengan teman sebayanya karena dia tidak tahu apa maksud yang diucapkan oleh temannya dan sebaliknya teman bermainnya juga tidak memahami apa yang diucapkan olehnya. Sepele bukan? Hanya karena perbedaan bahasa. Kok berbeda? Itulah yang saya katakan “bocah kuwi mesakake”!! Terkesan keren memang, anak sekecil itu sudah lancar berbahasa Indonesia. Ternyata memang sejak dia lahir 3 tahun sebelumnya, kedua orang tuanya yang asli orang Jawa sudah menanamkan metode komunikasi dengan bahasa Indonesia. Sejak kecil ia selalu ‘dikudang’ oleh orang tuanya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jadi memang orang tuanya sengaja memberi pendidikan kepada anak itu untuk menggunakan bahasa komunikasi bahasa Indonesia. Salahkah mereka??
Sebentar…..! Saya punya cerita satu lagi. Tentang tetangga saya juga. Sama seperti pasangan keluarga tersebut. Bedanya, keluarga ini adalah sepasang suami istri yang (maaf) tak pernah mengenyam pendidikan. Nonton TV-pun dia tidak bisa memahami (kecuali bahasa pengantarnya bahasa Jawa). Sepuluh tahun yang lalu keluarga ini menerima anugrah seorang bayi. Dengan penuh syukur mereka mendidik anaknya, yang tentunya karena tidak paham terhadap bahasa lain kecuali bahasa Jawa, ia menanamkan pada jiwa anak itu dengan bahasa pengantar bahasa Jawa. Wal hasil, ketika ia masuk usia Taman Kanak Kanak, ia sudah bisa berbahasa Jawa dengan mampu membedakan bagaimana ia menyebut diri sendiri (mbasakke awake dhewe) dan bagaimana menyebut orang lain (mbasakke wong liya) baik sebaya maupun orang yang diatas usianya atau orang yang harus dihormati lainnya. Singkatnya ia memahami unggah ungguh bahasa Jawa. Dan ternyata, ketika masuk sekolah TK, lambat laun ia lancar berbahasa Indonesia.
Nah, dari cerita yang kedua, logika saya mengatakan bahwa, siapapun anak itu selagi dia tidak memiliki gangguan potensi berbicara, tanpa diajarkan oleh orangtuanya-pun akhirnya ‘pasti’ bisa berbahasa Indonesia melalui pendidikan formalnya. Tapi sebaliknya, (ini yang cukup disayangkan),
Terus, bagaimana agar kita tidak
kehilangan Jawa kita? Bagaimana agar tidak kehilangan Jiwa kita?
Ini harus diawali dari diri kita
sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar